Jumat, 21 April 2017

Pembagian Harta




A.           Pembagian Harta
Ulama fiqih membagi harga menjadi beberapa bagian yang setiap bagiannya berdampak atau berkaitan dengan beragam hukum (ketetapan) namun, pada bahasan ini hanya akan dijelaskan beberapa bagian yang masyhur.
1.             Harta Muttaqawwin dan Ghair Muttaqawwin
a.             Harta muttaqawwin
 “Segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya, seperti macam-macam benda yang tidak bergerak, yang bergerak, dan lain-lain.”
b.             Harta ghair muttaqawwin
Artinya :
“Sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang syara’ untuk memanfaatkannya, kecuali dalam keadaan madarat, seperti khamar.”
Menurut ulama Hanafiyah, keduanya dipandang sebagai harta muttaqawwin oleh nonmuslim. Oleh karena itu, umat Islam yang merusaknya harus bertanggung jawab. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, harta ghair muttaqawwin tetap dipandang muttaqawwin, sebab umat non-muslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam. Dengan demikian, umat Islam tidak bertanggung jawab jika merusaknya.

Faedah Pembagian
a.             Sah dan Tidaknya Akad
Harta muttaqawwin sah dijadikan akan dalam berbagai aktivitas, muamalah, seperti hibbah, pinjam-meminjam, dan lain-lain, sedangkan harta ghair muttaqawwin tidak sah dijadikan akad dalam bermuamalah. Penjualan khamar, babi, dan lain-lain yang dilakukan oleh umat Islam adalah batal. Adapun pembelian sesuatu dengan barang-barang haram adalah fasid. Hal ini karena penjualan merupakan syarat terjadinya jual beli, sehingga batal, sedangkan harga adalah wasilah terjadinya akad, yakni syarat sah dalam muamalah sehingga fasid. Pendapat ini dikemukakan ulama Hanafiyah.
b.             Tanggung Jawab Ketika Rusak
Jika seseorang merusak harta muttaqawwin, ia bertanggung jawab untuk menggantinya. Akan tetapi, jika merusak ghair muttaqawwin, ia tidak bertanggung jawab. Menurut ulama Hanafiyah, dalam hal merusak ghair muttaqawwin, ia tetap bertanggung jawab sebab harta tersebut dipandang muttaqawwin oleh nonmuslim. Selain Hanafiyah berpendapat bahwa, harta ghair muttaqawwin tetap dipandang muttaqawwin sebab umat nonmuslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam.
2.             Harta ‘Aqar dan Manqul
Dalam mendefinisikan ‘aqar dan manqul, ulama fiqih berbagi dua.
a.             Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah:
1.             Manqul
 “Harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu ke tempat lain baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Hal ini mencakup uang, barang-dagangan, macam-macam hewan, benda-benda yang ditimbang dan diukur.”
2.             ‘Aqar
 “Harta tetap, yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah dari satu tempat ke tempat lain menurut asalnya, seperti rumah, dan hal-hal yang membumi.”
Menurut ulama Hanafiyah, bangunan dan tanaman menurut ulama Hanafiyah tidak termasuk ‘aqar, kecuali kalau keduanya ikut pada tanah. Dengan demikian, jika menjual tanah yang diatasnya ada bangunan atau pohon, bangunan dan pohon tersebut atau hal-hal lain yang menempel di tanah tersebut dihukumi ‘aqar. Sebaliknya, jika hanya menjual bangunan dan pohonnya saja, tidak dihukimi ‘aqar sebab ‘aqar menurut ulama Hanafiyah hanyalah tanah, sedangkan selain itu adalah harta manqul.
b.             Menurut ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah menyempitkan cakupan manqul dan memperluas pengertian ‘aqar, yaitu :
”Manqul adalah harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari satu tempat ke tempat lain, dengan tidak merubah bentuk dan keadaannya seperti pakaian, buku, dan sebagainya. ‘Aqar adalah harta yang tidak dapat dipindahkan dan diubah pada asalnya, seperti tanah, atau mungkin dapat dipindahkan dan diubah dan terjadi perubahan pada bentuk dan keadaannya ketika dipindahkan, seperti rumah dan pohon. Rumah setelah diruntuhkan berubah menjadi rusak, dan pohon berubah menjadi kayu.”
Faedah Pembagian
Di antara faedah pembagian harta menjadi ‘aqar dan manqul pada hukum antara lain:
a.              Menurut ulama Hanafiyah, tidak sah wakaf, kecuali pada harta ‘aqar atau sesuatu yang ikut pada ‘aqar. Sebaliknya jumhur ulama, berpendapat bahwa harta ‘aqar dan manqul dapat diwakafkan.
b.             Imam Abu Hanifiyah dan Abu Yusuf, dengan menyalahi ulama fiqih lainnya, berpendapat dibolehkan menjual ‘aqar yang belum diterima atau dipegang oleh pembeli pertama, sedangkan manqul dilarang menjualnya sebelum dipegang atau diserahkan kepada pembeli.

3.             Harta Mitsli dan Qimi
Harta mitsli adalah :
 “Harta yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan pada bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu perbedaan atau kekurangan yang biasa terjadi dalam aktivitas ekonomi.”
Harta mitsli terbagai atas empat bagian, yaitu harta yang ditakar, seperti gandum, harta yang ditimbang, seperti kapas dan besi, harta yang dihitung, seperti telur, dan harta yang dijual dengan meter, seperti pakaian, papan dan lain-lain.

Harta Qimi adalah :
 “Harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar atau mempunyai persamaan, tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan antara kesatuannya pada nilai, seperti binatang dan pohon.”
Faedah Pembagian
Di antara faedah pembagian kepada mitsli dan qimi, antara lain :
a.              Menurut ulama Hanafiyah, pada harta qimi tidak terjadi riba jika ada tambahan sebab harta qimi tidak ditimbang, seperti dibolehkan menjual satu kambing dengan dua kambing. Adapun tambahan pada harta mitsli dipandang riba. Untuk lebih jelas akan dibahas pada bab rika.
b.             Jika seseorang merusakkan harta mitsli, ia bertanggung jawab atas kerusakan tersebut dan harus menggantinya dengan harta yang sama dan sempurna, atau mendekati barang yang rusak. Adapun pada harta qimi, orang yang merusaknya dicukupkan mengganti dengan harta yang senilai dengan harta yang dirusak tersebut.
4.             Harta Istihlaki dan Isti’mali
Harta istihlaki adalah :
 “Harta yang dapat diambil manfaatnya dengan merusak zatnya.”
Di antara contoh harta istihlaki adalah macam-macam makanan, minuman, kayu bakar, kertas, uang dan lain-lain. Semua harta tersebut, kecuali dengan merusak zatnya, dapat diambil manfaatnya. Maksud kerusakan pada uang saku adalah menghabiskan dari pemiliknya. Dengan demikian, meskipun menurut zahir uang tersebut tidak rusak pada hakikatnya rusak, sebab pemilik tidak mungkin memanfaatkan uang tersebut tanpa membelanjakannya.
Harta Isti’mal adalah :
 “Harta yang dapat diambil manfaatnya, sedangkan zatnya tetap (tidak berubah).”
Di antara contoh harta isti’mal adalah rumah, tempat tidur, pakaian, buku, dan lain-lain.
Apabila zat harta hilang ketika pertama kali dimanfaatkan, harta tersebut dinamakan harta istihlaki. Sebaliknya, jika zatnya tetap ada, dinamakan harta isti’mali.
Faedah Pembagian
Dalam aktivitas ekonomi, harta istihlaki digunakan pada berbagai macam akad yang dimaksudkan untuk merusaknya., seperti qirad dan meminjamkan makanan.
Adapun harta isti’mali digunakan dalam beragam akad yang bertujuan untuk memakai harta tersebut, bukan untuk merusaknya, seperti sewa-menyewa dan pinjam-meminjam.
Namun demikian, ada juga akad yang tujuannya bukan hanya untuk merusak atau memakainya saja, tetapi untuk keduanya, seperti jual-beli.
     
5.             Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur
a.              Harta Mamluk adalah :
”Sesuatu yang berada di bawah kepemilikan, baik milik perseorangan, maupun milik badan hukum, seperti pemerintahan dan yayasan.”
b.             Harta Mubah adalah :
 “Sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di hutan, dan buah-buahan.”
c.              Harta Mahjur adalah :
 “Sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan disyariatkan memberikannya kepada orang lain, ada kalanya benda itu merupakan benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, mesjid, kuburan, segala harta yang diwakafkan.”
Faedah Pembagian
Di antara faedah yang dapat diambil dari pembagian ini dalam bermuamalah adalah
a.              Harta yang boleh didayagunakan (tasharuf) oleh seseorang adalah harta mamluk (harta yang berada di bawah kepemilikan seseorang), seperti dalam jual-beli, hibah, wakaf, dan lain-lain.
b.             Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kemampuan, usaha, dan cara yang dibenarkan syara’. Dengan demikian, harta tersebut akan menjadi miliknya, seperti orang yang menghidupkan atau memakmurkan tanah yang tidak ada pemiliknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
 “Barang siapa yang menghidupkan tanah (gersang), yang bukan milik seseorang, maka ia lebih berhak atas tanah tersebut.” (HR. Bukhari)


Juga sesuai dengan kaidah :
 “Barang siapa yang mengeluarkan dari harta mubah, maka menjadi pemiliknya.” (HR. Bukhari)

6.             Harta ‘Ain dan Dain
a.             Harta ‘Ain
Harta ‘Ain adalah harta benda yang berbentuk benda, seperti rumah, meja, kursi, kendaraan, dan lain-lain.
Harta ‘Ain terbagi dua:
1.      Harta ‘ain dzati qimmah, adalah benda yang memiliki bentuk dan nilai, yang meliputi:
§   Benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya atau tidak;
§   Benda yang dianggap harta yang ada atau tidak ada sebangsanya;
§   Benda yang dianggap harta yang dapat atau tidak dapat bergerak
2.      Harga ghair dzati qimmah, adalah benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki  nilai atau harga, seperti sebiji beras
b.             Harta Dain
Harta Dain adalah :
 “Sesuatu yang berada dalam tanggung jawab.”
Menurut ulama Hanafiyah, harta tidak dapat dibagi menjadi harta ‘ain dan dain sebab harta – sebagaimana telah disinggung – haruslah sesuatu yang berwujud dan berbentuk. Utang yang merupakan tanggung jawab seseorang menurut ulama Hanafiyah tidak termasuk harta, tetapi sifat pada tanggung jawab (wasf fi adz-dzimmah)

7.             Harta yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
a.             Harta yang dapat dibagi (Qobi li al-qismah)
Yang dimaksud dengan qobi li al-qismah adalah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, seperti beras, tepung, dan lain-lain.
b.             Harta yang tidak dapat dibagi (Ghair qabi li al-qismah)
Yang dimaksud dengan ghair qabi li al-qismah adalah harta yang menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, seperti piring, mesin, meja, dan lain-lain.
8.             Harta Pokok dan Harta Hasil
a.             Harta Pokok
 “Harta yang menyebabkan adanya harta yang lain.”
b.             Harta Hasil (tsamarah)
 “Harta yang terjadi dari harta yang lain.”
Di antara contoh harta pokok adalah sapi, dan harta hasil adalah susu atau daging. Harta pokok dapat disebut modal.
9.             Harta Khas dan Harta ‘Am
a.             Harta Khas
Harta khas adalah harta pribadi yang tidak bersekutu dengan harta lain. Harta ini tidak dapat diambil manfaatnya atau digunakan kecuali atas kehendak atau atas seizinnya.
b.             Harta ‘Am
Harta ‘Am adalah harta milik umum atau bersama, semua orang boleh mengambil manfaatnya sesuai dengan ketetapan yang disepakati bersama oleh umum atau penguasa.






DAFTAR PUSTAKA

Prof.DR.H.Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2001.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar