A. Pembagian Fiqih Muamalah
Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi
menjadi lima bagian:
1.
Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)
2.
Munakahat (Hukum Perkawinan)
3.
Muhasanat (Hukum Acara)
4.
Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)
5.
Tirkah (Hukum Peninggalan)
Dari pembagian diatas, yang merupakan disiplin ilmu
tersendiri adalah munakahat dan tirkah. Sedangkan menurut Al-Fikri dalam
kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah membagi Fiqh Muamalah menjadi
dua bagian:
1.
Al-Muamalah Al-Madiyah
Al-Muamalah Al-Madiyah
adalah muamalah yang mengakaji segi objeknya, yakni benda. Sebagian ulama
berpendapat bahwa Al-Muamalah Al-Madiyah bersifat kebendaan, yakni benda yang
halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjual belikan, atau diusahakan,
benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia,
dll. Semua aktivitas yang berkaitan dengan benda, seperti al- bai’ (jual
beli) tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan semata, tetapi jauh
lebih dari itu, yakni untuk memperoloh ridha Allah SWT. Jadi kita harus
menuruti tata cara jual beli yang telah ditentukan oleh syara’.
1.
Al-Muamalah Al-Adabiyah
Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah
muamalah ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang sumbernya dari
pancaindra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban,
seperti jujur, hasut, iri, dendam, dll. Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah
aturan-aturan Allah yang ditinjau dari segi subjeknya (pelakunya) yang berkisar
pada keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul, dusta, Dan lain-lain.
Ruang lingkup
fiqih muamalah terbagi menjadi dua:
1.
Al-Muamalah
Al-Adabiyah.
Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah
ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak
dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang
bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
2.
Al-Muamalah
Al-Madiyah
a. Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah)
b. Gadai (rahn)
c. Jaminan/ tanggungan (kafalah)
d. Pemindahan utang (hiwalah)
e. Jatuh bangkit (tafjis)
f. Batas bertindak (al-hajru)
g. Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
h. Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
i.
Sewa
menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
j.
Upah
(ujral al-amah)
k. Gugatan (asy-syuf’ah)
l.
Sayembara
(al-ji’alah)
m. Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah)
n. Pemberian (al-hibbah)
o. Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu)
p. beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah
bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnnya.
q. Pembagian hasil pertanian (musaqah)
r. Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah)
s. pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)
t.
Pihak
penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh)
u. Pinjaman barang (‘ariyah)
v. Sewa menyewa (al-ijarah)
w. Penitipan barang (wadi’ah)
Peluang ijtihad
dalam aspek tersebut diatas harus tetap terbuka, agar hukum Islam senantiasa
dapat memberi kejelasan normatif kepada masyarakat sebagai pelaku-pelaku
ekonomi.
C.
Hubungan
Hukum Islam dengan Hukum Romawi
Ada 3 perbedaan
pendapat tentang hukum Islam dengan hukum Romawi :
1.
Golongan orientalis, Von Kremaer,
Ignaz Golziher dan Amon, berpendapat bahwa hukum Islam benar-benar dipengaruhi
oleh hukum Romawi. Amon menyatakan bahwa syari’at Islam adalah hukum Romawi Timur
yang sudah mengalami perubahan-perubahan dalam penyesuaiannya dengan
masalah-masalah politik negara-negara Arab yang menjadi jajahannya.
2.
Golongan sarjana Muslim, Faiz
al-Kuhri, Arif al-Naqdi, dan Syaikh Muhammad Sulaiman, berpendapat bahwa hukum
Islam sama sekali tidak dipengaruhi oleh hukum Romawi, sebab hukum Islam
dipraktikkan/diundangkan lebih dahulu daripada hukum Romawi, yakni hukum Romawi
timbul setelah sarjana Barat mempelajari hukum Islam.
3.
Golongan moderat, Sayyid Muhammad
Hafidz Shabri, Ahmad Amin, dan Syafiq Syahanah, berpendapat bahwa kedua
pendapat diatas memiliki nilai kebenaran dan juga memiliki nilai kesalahan.
Menurut Abdul Madjid hukum Islam dan hukum Romawi terdapat
perbedaan-perbedaan yang menonjol, antara lain :
Kedudukan wanita Romawi di bawah perintah kekuasaan kaum
laki-laki selama hidupnya, wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk
melakukan transaksi-transaksi harta kekayaan tanpa izin suami, sedangkan dalam
hukum Islam tidak seketat itu walaupun harus diakui ada batasan-batasannya.
Pemindahan hutang (hiwalah) dalam hukum Romawi dilarang,
sedangkan dalam hukum Islam dibolehkan menurut semua madzhab.
DAFTAR PUSTAKA :
1. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung, CV Pustaka Setia,
2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar