A.
Pengertian
Harta
Menurut etimologi
harta adalah :
“Sesuatu
yang dibutuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti
emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun (yang tidak tampak), yakni
manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.”
Sesuatu yang tidak dikuasai manusia tidak bisa dinamakan harta menurut
bahasa, seperti burung di udara, ikan di dalam air, pohon di hutan, dan barang
tambang yang ada di bumi.
Dalam bahasa Arab disebut al-mal
yang berarti condong, cenderung, dan miring. Manusia cenderung ingin memiliki
dan menguasai harta.
Adapun harta menurut istilah ahli fiqih terbagi dalam dua pendapat :
1.
Menurut Ulama Hanafiah
“Harta adalah segala sesuatu yang dapat
diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan.”
Menurut
definisi ini, harta memiliki dua unsur :
a.
Harta
dapat dikuasai dan dipelihara
Sesuatu yang tidak disimpan atau dipelihara secara nyata, seperti ilmu,
kesehatan, kemuliaan, kecerdasan, udara, panas matahari, cahaya bulan, tidak
dapat dikatakan harta.
b.
Dapat
dimanfaatkan menurut kebiasaan
Segala sesuatu yang tidak bermanfaat seperti daging bangkai, makanan yang
basi, tidak dapat disebut harta, atau bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan
tidak diperhitungkan manusia, seperti satu biji gandum, setetes air, segegam
tanah, dan lain-lain. Semua itu tidak disebut harta sebab terlalu sedikit
sehingga zatnya tidak dapat dimanfaatkan, kecuali kalau disatukan dengan hal
lain.
2.
Pendapat Jumhur Ulama Fiqih Selain Hanafiah
“Segala sesuatu yang bernilai dan
mesti rusaknya dengan menguasainya.”
Pengertian ini merupakan pengertian umum yang dipakai dalam undang-undang
modern, yakni :
“Segala
yang bernilai dan bersifat harta.”
Salah satu perbedaan dan definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah
dan jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat diraba, seperti manfaat. Ulama Hanafiyah memandang bahwa
manfaat termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun
menurut ulama selain Hanafiyah, manfaat termasuk harta sebab yang penting
adalah manfaatnya dan bukan zatnya. Pendapat ini lebih umum digunakan oleh
kebanyakan manusia.
Manfaat yang dimaksud pada pembahasan ini adalah faedah atau kegunaan
yang dihasilkan dari benda yang tampak, seperti mendiami rumah atau mengendarai
kendaraan.
Adapun hak, yang ditetapkan syara’ kepada seseorang secara khusus sebagai
dampak dari penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak
milik, hak minum, dan lain-lain. Akan tetapi, terkadang tidak dikaitkan dengan
harta seperti hak mengasuh, dan lain-lain.
Ulama Hanafiyah, sebagaimana memandang manfaat, berpendapat bahwa hak
yang dikaitkan dengan harta pun tidak dikatakan harta sebab tidak mungkin
menyimpan dan memelihara zatnya. Selain itu, kalaupun hak milik dan manfaat
bisa didapatkan, hal itu tidak akan lama sebab sifatnya abstrak (maknawi) dan
akan hilang sedikit demi sedikit.
Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa hak milik dan manfaat dapat
dipandang sebagai harta sebab dapat dikuasai dengan cara menguasai pokoknya.
Selain itu, kemanfaatkan adalah maksud dari harta. Jika tidak memiliki manfaat,
manusia tidak mungkin mencari dan mencintai harta.
Perbedaan pendapat di atas berdampak pada perbedaan dalam menetapkan
beberapa ketetapan yang berkaitan dengan hukum, terutama dalam hal gasab,
persewaan dan waris.
Ulama selain Hanafiyah memandang bahwa orang yang meng-gasab sesuatu, kemudian memanfaatkannya
maka selain harus mengembalikan barang, ia juga bertanggung jawab atas manfaat
yang diambilnya. Adapun menurut ulama Hanafiyah, orang tersebut tidak
bertanggung jawab atas manfaat yang diambilnya, kecuali kalau gasab barang yang tetap tau milik anak
yatim, atau benda yang dipakai usaha, seperti meng-gasab hotel, dan lain-lain. Ulama Hanafiyah beralasan bahwa harta
tersebut sangat dibutuhkan dan akan menimbulkan pertentangan.
Jika ditelaah secara seksama, setiap barang akan memiliki alasan
sebagaimana dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, yakni dibutuhkan oleh pemiliknya
dan akan menimbulkan pertentangan bila di-gasab.
Oleh karena itu, pada dasarnya setiap orang yang meng-gasab semestinya bertanggung jawab atas manfaat yang diambil dari
benda tersebut.
Dalam persewaan menurut ulama Hanafiyah, persewaan berakhir dengan
meninggalnya penyewa sebab manfaat bukanlah harta sehingga tidak dapat
diwariskan. Menurut ulama selain Hanafiyah, persewaan tidak habis dengan
meninggalnya penyewa dan dapat ditangguhkan sampai habisnya waktu penyewaan.
Berkenaan dengan hak, seperti hak dalam khiyar syarat dan ru’yah,
menurut ulama Hanafiyah tidak dapat diwariskan, sedangkan menurut ulama selain
Hanafiyah dapat diwariskan.
B.
Kedudukan
Harta dan Anjuran untuk Berusaha dan Memilikinya
Dalam Al-Qur’an dan Hadis, cukup banyak ayat atau hadis yang membicarakan
harta. Pada bahasan ini hanya dikemukakan sebagian kecil saja tentang kedudukan
harta menurut Al-Quran dan Hadis, serta anjuran untuk berusaha dan memilikinya.
1.
Kedudukan Harta dalam Al-Quran dan Sunah
a.
Dalam
Al-Quran
1.
Harta sebagai fitrah
Artinya :
“Sesungguhnya hartamu dan
anak-anakmu hanyalah cobaan. Dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS.
At-Taghabun : 15)
2.
Harta sebagai perhiasan hidup
Artinya :
“Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi : 46)
3.
Harta untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai
kesenangan :
Artinya :
“(Dijadikan) indah menurut
pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik (surga).”
(QS. Ali Imran : 14)
b.
Dalam
As-Sunah
1.
Kecelakaan bagi penghamba pada harta :
“Celakalah orang yang menjadi hamba dinar
(uang), orang yang menjadi hamba dirham, orang yang menjadi hamba toga atau
pakaian, jika diberi, ia bangga, bila tidak diberi ia marah, mudah-mudahan dia
celaka dan merasa sakit, jika dia kena suatu musibah dia tidak akan memperoleh
jalan keluar.” (HR. Bukhari)
2.
Penghambat harta adalah orang terkutuk :
Artinya :
“Terkutuklah orang yang menjadi
hamba dinar dan terkutuk pula orang yang menjadi hamba dirham.” (HR.
Tirmidzi)
2.
Anjuran untuk Memiliki Harta dan Giat Berusaha
Ada beberapa dalil, baik dari Al-Quran maupun hadis yang dapat
dikategorikan sebagai isyarat bagi umat Islam untuk memiliki kekayaan dan giat
dalam berusaha supaya memperoleh kehidupan yang layak dan mampu melaksanakan
semua rukun Islam yang hanya diwajibkan bagi umat Islam yang mempunyai harta
atau kemampuan dari segi ekonomi. Sementara itu, harta kekayaan tidak mungkin
datang sendiri, tetapi harus dicapai melalui usaha. Di antara dalil-dalil
tersebut adalah sebagai berikut.
a.
Para
Nabi berusaha sendiri untuk bekal hidup
Allah SWT. menyatakan bahwa para Nabi berusaha sendiri, tidak
menggantungkan kepada orang lain. Seperti Nabi Daud a.s yang diceritakan dalam
Al-Quran:
Artinya :
“Dan sesungguhnya telah Kami
berikan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman), “Hai gunung-gunung dan
burung-burung bertasbih berulang-ulang bersama Daud.” Dan Kami telah melunakkan
besi untukknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah
anyamannya, dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa
yang kamu kerjakan.” (QS. Saba’ : 10-11)
Dalam Al-Quran pun disinggungkan pula perihal Nabi Nuh a.s.
membuat kapal (QS. Hud : 37, 38) dan
Nabi Musa a.s. menggembalakan domba selama dua puluh tahun sebelum diutus
menjadi rasul di negeri Madyan. Kita juga mengetahui dari sejarah bahwa Nabi
Muhammad SAW. dari kecil sudah menggembalakan domba, kemudian berniaga untuk
Siti Khadijah. Padahal mereka adalah para nabi yang suci, bergelar ulul azmi, tetapi mereka berusaha
sendiri untuk memenuhi kehidupannya.
b.
Anjuran
memanfaatkan dan memakan rezeki Allah SWT.
“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi
kamu, maka berjalanlah di segala penjuru dan makanlah sebagian rezeki-Nya.
(QS. Al-Mulk : 15)
c.
Rasulullah
SAW. menyuruh umatnya untuk bekerja.
Artinya :
“Seseorang yang mengambil tali
untuk mengikat kayu bakar, kemudian memanggul di pundaknya untuk dijual kepada
manusia, sehingga Allah mencukupinya adalah lebih baik daripada meminta-minta
kepada manusia, yang kemungkinan akan memberinya atau menolaknya.”
d.
Perintah
menunaikan zakat
Perintah mencari harta dan giat berusaha dapat dipahami
dengan adanya perintah menunaikan zakat yang selalu mengiringi perintah
mendirikan shalat dalam Al-Quran. Apabila shalat, diibaratkan adalah tiang
agama, zakat adalah jembatannya. Begitu pula dalam hadis terdapat keterangan
tentang macam-macam dan pembagian zakat harta. Di samping itu, dalam Islam pun
ada zakat yang diwajibkan kepada setiap manusia, yakni zakat fitrah. Zakat itu
mungkin dapat dipenuhi oleh mereka yang tidak memiliki harta atau tidak giat
dalam berusaha.
e.
Nabi
SAW. sering berdoa agar dilapangkan rezeki
“Ya Allah, ampunilah dosaku, lapangkanlah
rumahku, dan berkatilah rezekiku, kemudian beliau bertanya, “Alangkah banyaknya
yang engkau minta dengan doa tersebut?” Lalu beliau menjawab, “Apakah kita
meninggalkan salah satunya?” (HR. Thabrani)
Selain itu, masih banyak doa dan zikir yang diajarkan
Rasulullah SAW., yang intinya memohon agar dimudahkan dalam berusaha dan
mendapatkan rezeki, seperti doa:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu atas
petunjuk, ketakwaan, iffah (dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal), dan
kekayaan.”
(HR. Muslim, Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Ibn Mas’ud)
Begitu pula doa Rasulullah SAW. agar dijauhkan dari
kefakiran, karena kefakiran dapat menyebabkan kekufuran :
“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari
kekufuran dan kefakiran, seorang laki-laki berkata, apakah keduanya seimbang?
Rasulullah SAW. menjawab, ya.”
f.
Nabi
SAW. pernah melarang menyalati orang berutang
Rasulullah SAW. pernah melarang shalat jenazah terhadap orang
yang meninggalkan utang, tetapi tidak meninggalkan harta untuk melunasinya:
Artinya :
“Dari Abu Hurairah r.a. bahwasannya
Rasulullah SAW. melarang kami untuk menyalati orang meninggal dunia yang
mempunyai utang, tetapi tidak meninggalkan harta untuk membayar utangnya.”
Orang yang mati syahid diampuni segala dosanya, kecuali
apabila punya utang.
Artinya:
“Semua dosa orang yang mati syahid
diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim dan Ibnu Umar)
C.
Fungsi
Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan
manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu,
manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan
memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan hukum negara, atau ketetapan yang
disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta.
Seperti orang yang memperoleh harta dengan cara mencuri, ia memfungsikan harta
tersebut untuk kesenangan semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi, dan
lain-lain. Sebaliknya, orang yang mencari harta dengan cara yang halal,
biasanya memfungsikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan
ketentuan syara’, antara lain untuk :
1.
Kesempurnaan ibadah
mahzah, seperti shalat memerlukan kain untuk menurut aurat,
2.
Memelihara dan meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah SWT. sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran,
3.
Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak
meninggalkan generasi lemah (QS. An-nisa’:9)
4.
Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan
akhirat, Rasulullah SAW. bersabda :
“Tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit
yang lebih baik daripada makanan yang ia hasilkan dari keringatnya sendiri.
Sesungguhnya Nabi Allah, telah makan dari hasil keringatnya sendiri.” (HR.
Bukhari dari Miqdam bin Madi Kariba)
Dalam hadis lain dinyatakan :
“Bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang
meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan masalah
akhirat untuk urusan dunia, melainkan seimbang di antara keduanya, karena
masalah dunia dapat menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.” (HR.
Bukhari)
5.
Bekal mencari dan mengembangkan ilmu,
6.
Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat,
seperti orang kaya yang memberikan pekerjaan kepada orang miskin.
Daftar Pustaka :
Prof.DR.H.Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2001.
Daftar Pustaka :
Prof.DR.H.Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar