Jumat, 21 April 2017

Pembagian Harta




A.           Pembagian Harta
Ulama fiqih membagi harga menjadi beberapa bagian yang setiap bagiannya berdampak atau berkaitan dengan beragam hukum (ketetapan) namun, pada bahasan ini hanya akan dijelaskan beberapa bagian yang masyhur.
1.             Harta Muttaqawwin dan Ghair Muttaqawwin
a.             Harta muttaqawwin
 “Segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya, seperti macam-macam benda yang tidak bergerak, yang bergerak, dan lain-lain.”
b.             Harta ghair muttaqawwin
Artinya :
“Sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang syara’ untuk memanfaatkannya, kecuali dalam keadaan madarat, seperti khamar.”
Menurut ulama Hanafiyah, keduanya dipandang sebagai harta muttaqawwin oleh nonmuslim. Oleh karena itu, umat Islam yang merusaknya harus bertanggung jawab. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, harta ghair muttaqawwin tetap dipandang muttaqawwin, sebab umat non-muslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam. Dengan demikian, umat Islam tidak bertanggung jawab jika merusaknya.

Faedah Pembagian
a.             Sah dan Tidaknya Akad
Harta muttaqawwin sah dijadikan akan dalam berbagai aktivitas, muamalah, seperti hibbah, pinjam-meminjam, dan lain-lain, sedangkan harta ghair muttaqawwin tidak sah dijadikan akad dalam bermuamalah. Penjualan khamar, babi, dan lain-lain yang dilakukan oleh umat Islam adalah batal. Adapun pembelian sesuatu dengan barang-barang haram adalah fasid. Hal ini karena penjualan merupakan syarat terjadinya jual beli, sehingga batal, sedangkan harga adalah wasilah terjadinya akad, yakni syarat sah dalam muamalah sehingga fasid. Pendapat ini dikemukakan ulama Hanafiyah.
b.             Tanggung Jawab Ketika Rusak
Jika seseorang merusak harta muttaqawwin, ia bertanggung jawab untuk menggantinya. Akan tetapi, jika merusak ghair muttaqawwin, ia tidak bertanggung jawab. Menurut ulama Hanafiyah, dalam hal merusak ghair muttaqawwin, ia tetap bertanggung jawab sebab harta tersebut dipandang muttaqawwin oleh nonmuslim. Selain Hanafiyah berpendapat bahwa, harta ghair muttaqawwin tetap dipandang muttaqawwin sebab umat nonmuslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam.
2.             Harta ‘Aqar dan Manqul
Dalam mendefinisikan ‘aqar dan manqul, ulama fiqih berbagi dua.
a.             Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah:
1.             Manqul
 “Harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu ke tempat lain baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Hal ini mencakup uang, barang-dagangan, macam-macam hewan, benda-benda yang ditimbang dan diukur.”
2.             ‘Aqar
 “Harta tetap, yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah dari satu tempat ke tempat lain menurut asalnya, seperti rumah, dan hal-hal yang membumi.”
Menurut ulama Hanafiyah, bangunan dan tanaman menurut ulama Hanafiyah tidak termasuk ‘aqar, kecuali kalau keduanya ikut pada tanah. Dengan demikian, jika menjual tanah yang diatasnya ada bangunan atau pohon, bangunan dan pohon tersebut atau hal-hal lain yang menempel di tanah tersebut dihukumi ‘aqar. Sebaliknya, jika hanya menjual bangunan dan pohonnya saja, tidak dihukimi ‘aqar sebab ‘aqar menurut ulama Hanafiyah hanyalah tanah, sedangkan selain itu adalah harta manqul.
b.             Menurut ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah menyempitkan cakupan manqul dan memperluas pengertian ‘aqar, yaitu :
”Manqul adalah harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari satu tempat ke tempat lain, dengan tidak merubah bentuk dan keadaannya seperti pakaian, buku, dan sebagainya. ‘Aqar adalah harta yang tidak dapat dipindahkan dan diubah pada asalnya, seperti tanah, atau mungkin dapat dipindahkan dan diubah dan terjadi perubahan pada bentuk dan keadaannya ketika dipindahkan, seperti rumah dan pohon. Rumah setelah diruntuhkan berubah menjadi rusak, dan pohon berubah menjadi kayu.”
Faedah Pembagian
Di antara faedah pembagian harta menjadi ‘aqar dan manqul pada hukum antara lain:
a.              Menurut ulama Hanafiyah, tidak sah wakaf, kecuali pada harta ‘aqar atau sesuatu yang ikut pada ‘aqar. Sebaliknya jumhur ulama, berpendapat bahwa harta ‘aqar dan manqul dapat diwakafkan.
b.             Imam Abu Hanifiyah dan Abu Yusuf, dengan menyalahi ulama fiqih lainnya, berpendapat dibolehkan menjual ‘aqar yang belum diterima atau dipegang oleh pembeli pertama, sedangkan manqul dilarang menjualnya sebelum dipegang atau diserahkan kepada pembeli.

3.             Harta Mitsli dan Qimi
Harta mitsli adalah :
 “Harta yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan pada bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu perbedaan atau kekurangan yang biasa terjadi dalam aktivitas ekonomi.”
Harta mitsli terbagai atas empat bagian, yaitu harta yang ditakar, seperti gandum, harta yang ditimbang, seperti kapas dan besi, harta yang dihitung, seperti telur, dan harta yang dijual dengan meter, seperti pakaian, papan dan lain-lain.

Harta Qimi adalah :
 “Harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar atau mempunyai persamaan, tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan antara kesatuannya pada nilai, seperti binatang dan pohon.”
Faedah Pembagian
Di antara faedah pembagian kepada mitsli dan qimi, antara lain :
a.              Menurut ulama Hanafiyah, pada harta qimi tidak terjadi riba jika ada tambahan sebab harta qimi tidak ditimbang, seperti dibolehkan menjual satu kambing dengan dua kambing. Adapun tambahan pada harta mitsli dipandang riba. Untuk lebih jelas akan dibahas pada bab rika.
b.             Jika seseorang merusakkan harta mitsli, ia bertanggung jawab atas kerusakan tersebut dan harus menggantinya dengan harta yang sama dan sempurna, atau mendekati barang yang rusak. Adapun pada harta qimi, orang yang merusaknya dicukupkan mengganti dengan harta yang senilai dengan harta yang dirusak tersebut.
4.             Harta Istihlaki dan Isti’mali
Harta istihlaki adalah :
 “Harta yang dapat diambil manfaatnya dengan merusak zatnya.”
Di antara contoh harta istihlaki adalah macam-macam makanan, minuman, kayu bakar, kertas, uang dan lain-lain. Semua harta tersebut, kecuali dengan merusak zatnya, dapat diambil manfaatnya. Maksud kerusakan pada uang saku adalah menghabiskan dari pemiliknya. Dengan demikian, meskipun menurut zahir uang tersebut tidak rusak pada hakikatnya rusak, sebab pemilik tidak mungkin memanfaatkan uang tersebut tanpa membelanjakannya.
Harta Isti’mal adalah :
 “Harta yang dapat diambil manfaatnya, sedangkan zatnya tetap (tidak berubah).”
Di antara contoh harta isti’mal adalah rumah, tempat tidur, pakaian, buku, dan lain-lain.
Apabila zat harta hilang ketika pertama kali dimanfaatkan, harta tersebut dinamakan harta istihlaki. Sebaliknya, jika zatnya tetap ada, dinamakan harta isti’mali.
Faedah Pembagian
Dalam aktivitas ekonomi, harta istihlaki digunakan pada berbagai macam akad yang dimaksudkan untuk merusaknya., seperti qirad dan meminjamkan makanan.
Adapun harta isti’mali digunakan dalam beragam akad yang bertujuan untuk memakai harta tersebut, bukan untuk merusaknya, seperti sewa-menyewa dan pinjam-meminjam.
Namun demikian, ada juga akad yang tujuannya bukan hanya untuk merusak atau memakainya saja, tetapi untuk keduanya, seperti jual-beli.
     
5.             Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur
a.              Harta Mamluk adalah :
”Sesuatu yang berada di bawah kepemilikan, baik milik perseorangan, maupun milik badan hukum, seperti pemerintahan dan yayasan.”
b.             Harta Mubah adalah :
 “Sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di hutan, dan buah-buahan.”
c.              Harta Mahjur adalah :
 “Sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan disyariatkan memberikannya kepada orang lain, ada kalanya benda itu merupakan benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, mesjid, kuburan, segala harta yang diwakafkan.”
Faedah Pembagian
Di antara faedah yang dapat diambil dari pembagian ini dalam bermuamalah adalah
a.              Harta yang boleh didayagunakan (tasharuf) oleh seseorang adalah harta mamluk (harta yang berada di bawah kepemilikan seseorang), seperti dalam jual-beli, hibah, wakaf, dan lain-lain.
b.             Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kemampuan, usaha, dan cara yang dibenarkan syara’. Dengan demikian, harta tersebut akan menjadi miliknya, seperti orang yang menghidupkan atau memakmurkan tanah yang tidak ada pemiliknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
 “Barang siapa yang menghidupkan tanah (gersang), yang bukan milik seseorang, maka ia lebih berhak atas tanah tersebut.” (HR. Bukhari)


Juga sesuai dengan kaidah :
 “Barang siapa yang mengeluarkan dari harta mubah, maka menjadi pemiliknya.” (HR. Bukhari)

6.             Harta ‘Ain dan Dain
a.             Harta ‘Ain
Harta ‘Ain adalah harta benda yang berbentuk benda, seperti rumah, meja, kursi, kendaraan, dan lain-lain.
Harta ‘Ain terbagi dua:
1.      Harta ‘ain dzati qimmah, adalah benda yang memiliki bentuk dan nilai, yang meliputi:
§   Benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya atau tidak;
§   Benda yang dianggap harta yang ada atau tidak ada sebangsanya;
§   Benda yang dianggap harta yang dapat atau tidak dapat bergerak
2.      Harga ghair dzati qimmah, adalah benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki  nilai atau harga, seperti sebiji beras
b.             Harta Dain
Harta Dain adalah :
 “Sesuatu yang berada dalam tanggung jawab.”
Menurut ulama Hanafiyah, harta tidak dapat dibagi menjadi harta ‘ain dan dain sebab harta – sebagaimana telah disinggung – haruslah sesuatu yang berwujud dan berbentuk. Utang yang merupakan tanggung jawab seseorang menurut ulama Hanafiyah tidak termasuk harta, tetapi sifat pada tanggung jawab (wasf fi adz-dzimmah)

7.             Harta yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
a.             Harta yang dapat dibagi (Qobi li al-qismah)
Yang dimaksud dengan qobi li al-qismah adalah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, seperti beras, tepung, dan lain-lain.
b.             Harta yang tidak dapat dibagi (Ghair qabi li al-qismah)
Yang dimaksud dengan ghair qabi li al-qismah adalah harta yang menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, seperti piring, mesin, meja, dan lain-lain.
8.             Harta Pokok dan Harta Hasil
a.             Harta Pokok
 “Harta yang menyebabkan adanya harta yang lain.”
b.             Harta Hasil (tsamarah)
 “Harta yang terjadi dari harta yang lain.”
Di antara contoh harta pokok adalah sapi, dan harta hasil adalah susu atau daging. Harta pokok dapat disebut modal.
9.             Harta Khas dan Harta ‘Am
a.             Harta Khas
Harta khas adalah harta pribadi yang tidak bersekutu dengan harta lain. Harta ini tidak dapat diambil manfaatnya atau digunakan kecuali atas kehendak atau atas seizinnya.
b.             Harta ‘Am
Harta ‘Am adalah harta milik umum atau bersama, semua orang boleh mengambil manfaatnya sesuai dengan ketetapan yang disepakati bersama oleh umum atau penguasa.






DAFTAR PUSTAKA

Prof.DR.H.Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2001.




Harta





A.           Pengertian Harta
Menurut etimologi harta adalah :
 “Sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun (yang tidak tampak), yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.”
Sesuatu yang tidak dikuasai manusia tidak bisa dinamakan harta menurut bahasa, seperti burung di udara, ikan di dalam air, pohon di hutan, dan barang tambang yang ada di bumi.
Dalam bahasa Arab disebut al-mal yang berarti condong, cenderung, dan miring. Manusia cenderung ingin memiliki dan menguasai harta.
Adapun harta menurut istilah ahli fiqih terbagi dalam dua pendapat :
1.             Menurut Ulama Hanafiah
 “Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan.”
Menurut definisi ini, harta memiliki dua unsur :
a.        Harta dapat dikuasai dan dipelihara
Sesuatu yang tidak disimpan atau dipelihara secara nyata, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan, kecerdasan, udara, panas matahari, cahaya bulan, tidak dapat dikatakan harta.
b.        Dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan
Segala sesuatu yang tidak bermanfaat seperti daging bangkai, makanan yang basi, tidak dapat disebut harta, atau bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan tidak diperhitungkan manusia, seperti satu biji gandum, setetes air, segegam tanah, dan lain-lain. Semua itu tidak disebut harta sebab terlalu sedikit sehingga zatnya tidak dapat dimanfaatkan, kecuali kalau disatukan dengan hal lain.
2.             Pendapat Jumhur Ulama Fiqih Selain Hanafiah
“Segala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya.”
Pengertian ini merupakan pengertian umum yang dipakai dalam undang-undang modern, yakni :
 Segala yang bernilai dan bersifat harta.”
Salah satu perbedaan dan definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat diraba, seperti  manfaat. Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, manfaat termasuk harta sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan zatnya. Pendapat ini lebih umum digunakan oleh kebanyakan manusia.
Manfaat yang dimaksud pada pembahasan ini adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak, seperti mendiami rumah atau mengendarai kendaraan.
Adapun hak, yang ditetapkan syara’ kepada seseorang secara khusus sebagai dampak dari penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik, hak minum, dan lain-lain. Akan tetapi, terkadang tidak dikaitkan dengan harta seperti hak mengasuh, dan lain-lain.
Ulama Hanafiyah, sebagaimana memandang manfaat, berpendapat bahwa hak yang dikaitkan dengan harta pun tidak dikatakan harta sebab tidak mungkin menyimpan dan memelihara zatnya. Selain itu, kalaupun hak milik dan manfaat bisa didapatkan, hal itu tidak akan lama sebab sifatnya abstrak (maknawi) dan akan hilang sedikit demi sedikit.
Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa hak milik dan manfaat dapat dipandang sebagai harta sebab dapat dikuasai dengan cara menguasai pokoknya. Selain itu, kemanfaatkan adalah maksud dari harta. Jika tidak memiliki manfaat, manusia tidak mungkin mencari dan mencintai harta.
Perbedaan pendapat di atas berdampak pada perbedaan dalam menetapkan beberapa ketetapan yang berkaitan dengan hukum, terutama dalam hal gasab, persewaan dan waris.
Ulama selain Hanafiyah memandang bahwa orang yang meng-gasab sesuatu, kemudian memanfaatkannya maka selain harus mengembalikan barang, ia juga bertanggung jawab atas manfaat yang diambilnya. Adapun menurut ulama Hanafiyah, orang tersebut tidak bertanggung jawab atas manfaat yang diambilnya, kecuali kalau gasab barang yang tetap tau milik anak yatim, atau benda yang dipakai usaha, seperti meng-gasab hotel, dan lain-lain. Ulama Hanafiyah beralasan bahwa harta tersebut sangat dibutuhkan dan akan menimbulkan pertentangan.
Jika ditelaah secara seksama, setiap barang akan memiliki alasan sebagaimana dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, yakni dibutuhkan oleh pemiliknya dan akan menimbulkan pertentangan bila di-gasab. Oleh karena itu, pada dasarnya setiap orang yang meng-gasab semestinya bertanggung jawab atas manfaat yang diambil dari benda tersebut.
Dalam persewaan menurut ulama Hanafiyah, persewaan berakhir dengan meninggalnya penyewa sebab manfaat bukanlah harta sehingga tidak dapat diwariskan. Menurut ulama selain Hanafiyah, persewaan tidak habis dengan meninggalnya penyewa dan dapat ditangguhkan sampai habisnya waktu penyewaan.
Berkenaan dengan hak, seperti hak dalam khiyar syarat dan ru’yah, menurut ulama Hanafiyah tidak dapat diwariskan, sedangkan menurut ulama selain Hanafiyah dapat diwariskan.

B.            Kedudukan Harta dan Anjuran untuk Berusaha dan Memilikinya
Dalam Al-Qur’an dan Hadis, cukup banyak ayat atau hadis yang membicarakan harta. Pada bahasan ini hanya dikemukakan sebagian kecil saja tentang kedudukan harta menurut Al-Quran dan Hadis, serta anjuran untuk berusaha dan memilikinya.
1.             Kedudukan Harta dalam Al-Quran dan Sunah
a.             Dalam Al-Quran
1.        Harta sebagai fitrah
Artinya :
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan. Dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun : 15)
2.        Harta sebagai perhiasan hidup
Artinya :
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi : 46)
3.        Harta untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai kesenangan :
Artinya :
“(Dijadikan) indah menurut pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
(QS. Ali Imran : 14)
b.             Dalam As-Sunah
1.      Kecelakaan bagi penghamba pada harta :
 “Celakalah orang yang menjadi hamba dinar (uang), orang yang menjadi hamba dirham, orang yang menjadi hamba toga atau pakaian, jika diberi, ia bangga, bila tidak diberi ia marah, mudah-mudahan dia celaka dan merasa sakit, jika dia kena suatu musibah dia tidak akan memperoleh jalan keluar.” (HR. Bukhari)
2.      Penghambat harta adalah orang terkutuk :
Artinya :
“Terkutuklah orang yang menjadi hamba dinar dan terkutuk pula orang yang menjadi hamba dirham.” (HR. Tirmidzi)

2.             Anjuran untuk Memiliki Harta dan Giat Berusaha
Ada beberapa dalil, baik dari Al-Quran maupun hadis yang dapat dikategorikan sebagai isyarat bagi umat Islam untuk memiliki kekayaan dan giat dalam berusaha supaya memperoleh kehidupan yang layak dan mampu melaksanakan semua rukun Islam yang hanya diwajibkan bagi umat Islam yang mempunyai harta atau kemampuan dari segi ekonomi. Sementara itu, harta kekayaan tidak mungkin datang sendiri, tetapi harus dicapai melalui usaha. Di antara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut.
a.             Para Nabi berusaha sendiri untuk bekal hidup
Allah SWT. menyatakan bahwa para Nabi berusaha sendiri, tidak menggantungkan kepada orang lain. Seperti Nabi Daud a.s yang diceritakan dalam Al-Quran:
Artinya :
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman), “Hai gunung-gunung dan burung-burung bertasbih berulang-ulang bersama Daud.” Dan Kami telah melunakkan besi untukknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya, dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Saba’ : 10-11)
Dalam Al-Quran pun disinggungkan pula perihal Nabi Nuh a.s. membuat kapal (QS. Hud : 37, 38) dan Nabi Musa a.s. menggembalakan domba selama dua puluh tahun sebelum diutus menjadi rasul di negeri Madyan. Kita juga mengetahui dari sejarah bahwa Nabi Muhammad SAW. dari kecil sudah menggembalakan domba, kemudian berniaga untuk Siti Khadijah. Padahal mereka adalah para nabi yang suci, bergelar ulul azmi, tetapi mereka berusaha sendiri untuk memenuhi kehidupannya.
b.             Anjuran memanfaatkan dan memakan rezeki Allah SWT.
 “Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjuru dan makanlah sebagian rezeki-Nya. (QS. Al-Mulk : 15)
c.              Rasulullah SAW. menyuruh umatnya untuk bekerja.
Artinya :
“Seseorang yang mengambil tali untuk mengikat kayu bakar, kemudian memanggul di pundaknya untuk dijual kepada manusia, sehingga Allah mencukupinya adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia, yang kemungkinan akan memberinya atau menolaknya.”
d.             Perintah menunaikan zakat
Perintah mencari harta dan giat berusaha dapat dipahami dengan adanya perintah menunaikan zakat yang selalu mengiringi perintah mendirikan shalat dalam Al-Quran. Apabila shalat, diibaratkan adalah tiang agama, zakat adalah jembatannya. Begitu pula dalam hadis terdapat keterangan tentang macam-macam dan pembagian zakat harta. Di samping itu, dalam Islam pun ada zakat yang diwajibkan kepada setiap manusia, yakni zakat fitrah. Zakat itu mungkin dapat dipenuhi oleh mereka yang tidak memiliki harta atau tidak giat dalam berusaha.
e.              Nabi SAW. sering berdoa agar dilapangkan rezeki
 “Ya Allah, ampunilah dosaku, lapangkanlah rumahku, dan berkatilah rezekiku, kemudian beliau bertanya, “Alangkah banyaknya yang engkau minta dengan doa tersebut?” Lalu beliau menjawab, “Apakah kita meninggalkan salah satunya?” (HR. Thabrani)
Selain itu, masih banyak doa dan zikir yang diajarkan Rasulullah SAW., yang intinya memohon agar dimudahkan dalam berusaha dan mendapatkan rezeki, seperti doa:
 “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu atas petunjuk, ketakwaan, iffah (dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal), dan kekayaan.”
(HR. Muslim, Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Ibn Mas’ud)
Begitu pula doa Rasulullah SAW. agar dijauhkan dari kefakiran, karena kefakiran dapat menyebabkan kekufuran :
 “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kekufuran dan kefakiran, seorang laki-laki berkata, apakah keduanya seimbang? Rasulullah SAW. menjawab, ya.”

f.               Nabi SAW. pernah melarang menyalati orang berutang
Rasulullah SAW. pernah melarang shalat jenazah terhadap orang yang meninggalkan utang, tetapi tidak meninggalkan harta untuk melunasinya:
Artinya :
“Dari Abu Hurairah r.a. bahwasannya Rasulullah SAW. melarang kami untuk menyalati orang meninggal dunia yang mempunyai utang, tetapi tidak meninggalkan harta untuk membayar utangnya.”
Orang yang mati syahid diampuni segala dosanya, kecuali apabila punya utang.
Artinya:
“Semua dosa orang yang mati syahid diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim dan Ibnu Umar)

C.           Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan hukum negara, atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang yang memperoleh harta dengan cara mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk kesenangan semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain. Sebaliknya, orang yang mencari harta dengan cara yang halal, biasanya memfungsikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan syara’, antara lain untuk :
1.        Kesempurnaan ibadah mahzah, seperti shalat memerlukan kain untuk menurut aurat,
2.        Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran,
3.        Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (QS. An-nisa’:9)
4.        Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW. bersabda :
 “Tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik daripada makanan yang ia hasilkan dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah, telah makan dari hasil keringatnya sendiri.” (HR. Bukhari dari Miqdam bin Madi Kariba)
Dalam hadis lain dinyatakan :
 “Bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, melainkan seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.” (HR. Bukhari)
5.        Bekal mencari dan mengembangkan ilmu,
6.        Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan pekerjaan kepada orang miskin.


Daftar  Pustaka :


Prof.DR.H.Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2001.