A.
Pembagian
Harta
Ulama fiqih membagi harga menjadi beberapa bagian yang setiap bagiannya
berdampak atau berkaitan dengan beragam hukum (ketetapan) namun, pada bahasan
ini hanya akan dijelaskan beberapa bagian yang masyhur.
1.
Harta Muttaqawwin dan Ghair Muttaqawwin
a.
Harta
muttaqawwin
“Segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan
pekerjaan dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya, seperti macam-macam
benda yang tidak bergerak, yang bergerak, dan lain-lain.”
b.
Harta
ghair muttaqawwin
Artinya :
“Sesuatu yang tidak dapat dikuasai
dengan pekerjaan dan dilarang syara’ untuk memanfaatkannya, kecuali dalam
keadaan madarat, seperti khamar.”
Menurut ulama Hanafiyah, keduanya dipandang sebagai harta muttaqawwin oleh nonmuslim. Oleh karena
itu, umat Islam yang merusaknya harus bertanggung jawab. Adapun menurut ulama
selain Hanafiyah, harta ghair muttaqawwin
tetap dipandang muttaqawwin, sebab
umat non-muslim yang berada di negara Islam harus mengikuti peraturan yang
diikuti oleh umat Islam. Dengan demikian, umat Islam tidak bertanggung jawab
jika merusaknya.
Faedah Pembagian
a.
Sah
dan Tidaknya Akad
Harta muttaqawwin
sah dijadikan akan dalam berbagai aktivitas, muamalah, seperti hibbah,
pinjam-meminjam, dan lain-lain, sedangkan harta ghair muttaqawwin tidak sah dijadikan akad dalam bermuamalah.
Penjualan khamar, babi, dan lain-lain yang dilakukan oleh umat Islam adalah
batal. Adapun pembelian sesuatu dengan barang-barang haram adalah fasid. Hal ini karena penjualan
merupakan syarat terjadinya jual beli, sehingga batal, sedangkan harga adalah wasilah terjadinya akad, yakni syarat
sah dalam muamalah sehingga fasid.
Pendapat ini dikemukakan ulama Hanafiyah.
b.
Tanggung
Jawab Ketika Rusak
Jika seseorang merusak harta muttaqawwin, ia bertanggung jawab untuk menggantinya. Akan tetapi,
jika merusak ghair muttaqawwin, ia
tidak bertanggung jawab. Menurut ulama Hanafiyah, dalam hal merusak ghair muttaqawwin, ia tetap bertanggung jawab sebab harta
tersebut dipandang muttaqawwin oleh
nonmuslim. Selain Hanafiyah berpendapat bahwa, harta ghair muttaqawwin tetap dipandang muttaqawwin sebab umat nonmuslim yang berada di negara Islam harus
mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat Islam.
2.
Harta ‘Aqar dan Manqul
Dalam mendefinisikan ‘aqar dan manqul, ulama fiqih berbagi dua.
a.
Menurut
ulama Hanafiyah dan Hanabilah:
1.
Manqul
“Harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari
tempat satu ke tempat lain baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun
berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Hal
ini mencakup uang, barang-dagangan, macam-macam hewan, benda-benda yang
ditimbang dan diukur.”
2.
‘Aqar
“Harta tetap, yang tidak mungkin dipindahkan
dan diubah dari satu tempat ke tempat lain menurut asalnya, seperti rumah, dan
hal-hal yang membumi.”
Menurut ulama Hanafiyah, bangunan dan tanaman menurut ulama
Hanafiyah tidak termasuk ‘aqar,
kecuali kalau keduanya ikut pada tanah. Dengan demikian, jika menjual tanah
yang diatasnya ada bangunan atau pohon, bangunan dan pohon tersebut atau
hal-hal lain yang menempel di tanah tersebut dihukumi ‘aqar. Sebaliknya, jika hanya menjual bangunan dan pohonnya saja,
tidak dihukimi ‘aqar sebab ‘aqar menurut ulama Hanafiyah hanyalah
tanah, sedangkan selain itu adalah harta manqul.
b.
Menurut
ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah menyempitkan cakupan manqul dan memperluas pengertian ‘aqar, yaitu :
”Manqul adalah harta yang dapat
dipindahkan dan diubah dari satu tempat ke tempat lain, dengan tidak merubah
bentuk dan keadaannya seperti pakaian, buku, dan sebagainya. ‘Aqar adalah harta
yang tidak dapat dipindahkan dan diubah pada asalnya, seperti tanah, atau
mungkin dapat dipindahkan dan diubah dan terjadi perubahan pada bentuk dan
keadaannya ketika dipindahkan, seperti rumah dan pohon. Rumah setelah
diruntuhkan berubah menjadi rusak, dan pohon berubah menjadi kayu.”
Faedah Pembagian
Di antara faedah pembagian harta menjadi ‘aqar dan manqul pada
hukum antara lain:
a.
Menurut ulama Hanafiyah, tidak sah wakaf,
kecuali pada harta ‘aqar atau sesuatu
yang ikut pada ‘aqar. Sebaliknya
jumhur ulama, berpendapat bahwa harta ‘aqar
dan manqul dapat diwakafkan.
b.
Imam Abu Hanifiyah dan Abu Yusuf, dengan menyalahi
ulama fiqih lainnya, berpendapat dibolehkan menjual ‘aqar yang belum diterima atau dipegang oleh pembeli pertama,
sedangkan manqul dilarang menjualnya
sebelum dipegang atau diserahkan kepada pembeli.
3.
Harta Mitsli dan Qimi
Harta mitsli adalah :
“Harta
yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan pada
bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu perbedaan atau kekurangan yang biasa
terjadi dalam aktivitas ekonomi.”
Harta mitsli terbagai atas
empat bagian, yaitu harta yang ditakar, seperti gandum, harta yang ditimbang,
seperti kapas dan besi, harta yang dihitung, seperti telur, dan harta yang
dijual dengan meter, seperti pakaian, papan dan lain-lain.
Harta Qimi adalah :
“Harta
yang tidak mempunyai persamaan di pasar atau mempunyai persamaan, tetapi ada
perbedaan menurut kebiasaan antara kesatuannya pada nilai, seperti binatang dan
pohon.”
Faedah Pembagian
Di
antara faedah pembagian kepada mitsli dan
qimi, antara lain :
a.
Menurut ulama Hanafiyah, pada harta qimi tidak terjadi riba jika ada
tambahan sebab harta qimi tidak
ditimbang, seperti dibolehkan menjual satu kambing dengan dua kambing. Adapun
tambahan pada harta mitsli dipandang
riba. Untuk lebih jelas akan dibahas pada bab rika.
b.
Jika seseorang merusakkan harta mitsli, ia bertanggung jawab atas
kerusakan tersebut dan harus menggantinya dengan harta yang sama dan sempurna,
atau mendekati barang yang rusak. Adapun pada harta qimi, orang yang merusaknya dicukupkan mengganti dengan harta yang
senilai dengan harta yang dirusak tersebut.
4.
Harta Istihlaki dan Isti’mali
Harta istihlaki adalah :
“Harta yang dapat diambil manfaatnya dengan
merusak zatnya.”
Di antara contoh harta istihlaki
adalah macam-macam makanan, minuman, kayu bakar, kertas, uang dan lain-lain.
Semua harta tersebut, kecuali dengan merusak zatnya, dapat diambil manfaatnya.
Maksud kerusakan pada uang saku adalah menghabiskan dari pemiliknya. Dengan
demikian, meskipun menurut zahir uang tersebut tidak rusak pada hakikatnya
rusak, sebab pemilik tidak mungkin memanfaatkan uang tersebut tanpa
membelanjakannya.
Harta Isti’mal adalah :
“Harta
yang dapat diambil manfaatnya, sedangkan zatnya tetap (tidak berubah).”
Di antara contoh harta isti’mal
adalah rumah, tempat tidur, pakaian, buku, dan lain-lain.
Apabila zat harta hilang ketika pertama kali dimanfaatkan, harta tersebut
dinamakan harta istihlaki. Sebaliknya, jika zatnya tetap ada, dinamakan harta isti’mali.
Faedah Pembagian
Dalam aktivitas ekonomi, harta istihlaki
digunakan pada berbagai macam akad yang dimaksudkan untuk merusaknya., seperti qirad dan meminjamkan makanan.
Adapun harta isti’mali digunakan dalam beragam akad yang bertujuan untuk
memakai harta tersebut, bukan untuk merusaknya, seperti sewa-menyewa dan
pinjam-meminjam.
Namun demikian, ada juga akad yang tujuannya bukan hanya untuk merusak
atau memakainya saja, tetapi untuk keduanya, seperti jual-beli.
5.
Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur
a.
Harta Mamluk
adalah :
”Sesuatu yang berada di bawah
kepemilikan, baik milik perseorangan, maupun milik badan hukum, seperti
pemerintahan dan yayasan.”
b.
Harta Mubah
adalah :
“Sesuatu yang pada asalnya bukan milik
seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon
di hutan, dan buah-buahan.”
c.
Harta Mahjur
adalah :
“Sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki
sendiri dan disyariatkan memberikannya kepada orang lain, ada kalanya benda itu
merupakan benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum,
seperti jalan raya, mesjid, kuburan, segala harta yang diwakafkan.”
Faedah Pembagian
Di antara faedah yang dapat
diambil dari pembagian ini dalam bermuamalah adalah
a.
Harta yang boleh didayagunakan (tasharuf) oleh seseorang adalah harta mamluk (harta yang berada di bawah
kepemilikan seseorang), seperti dalam jual-beli, hibah, wakaf, dan lain-lain.
b.
Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah
sesuai dengan kemampuan, usaha, dan cara yang dibenarkan syara’. Dengan
demikian, harta tersebut akan menjadi miliknya, seperti orang yang menghidupkan
atau memakmurkan tanah yang tidak ada pemiliknya, sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW. :
“Barang siapa yang menghidupkan tanah
(gersang), yang bukan milik seseorang, maka ia lebih berhak atas tanah
tersebut.” (HR. Bukhari)
Juga sesuai dengan kaidah :
“Barang siapa yang mengeluarkan dari harta
mubah, maka menjadi pemiliknya.” (HR. Bukhari)
6.
Harta ‘Ain dan Dain
a.
Harta
‘Ain
Harta ‘Ain adalah
harta benda yang berbentuk benda, seperti rumah, meja, kursi, kendaraan, dan
lain-lain.
Harta ‘Ain terbagi dua:
1.
Harta ‘ain
dzati qimmah, adalah benda yang memiliki bentuk dan nilai, yang meliputi:
§
Benda yang dianggap harta yang boleh diambil
manfaatnya atau tidak;
§
Benda yang dianggap harta yang ada atau tidak
ada sebangsanya;
§
Benda yang dianggap harta yang dapat atau tidak
dapat bergerak
2.
Harga
ghair dzati qimmah, adalah benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta,
karena tidak memiliki nilai atau harga,
seperti sebiji beras
b.
Harta
Dain
Harta Dain adalah :
“Sesuatu yang berada dalam tanggung jawab.”
Menurut ulama Hanafiyah, harta tidak dapat dibagi menjadi
harta ‘ain dan dain sebab harta – sebagaimana telah disinggung – haruslah sesuatu yang
berwujud dan berbentuk. Utang yang merupakan tanggung jawab seseorang menurut
ulama Hanafiyah tidak termasuk harta, tetapi sifat pada tanggung jawab (wasf fi adz-dzimmah)
7.
Harta yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat
Dibagi
a.
Harta
yang dapat dibagi (Qobi li al-qismah)
Yang dimaksud dengan qobi li
al-qismah adalah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan
apabila harta tersebut dibagi-bagi, seperti beras, tepung, dan lain-lain.
b.
Harta
yang tidak dapat dibagi (Ghair qabi li al-qismah)
Yang dimaksud dengan ghair qabi li
al-qismah adalah harta yang menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila
harta tersebut dibagi-bagi, seperti piring, mesin, meja, dan lain-lain.
8.
Harta Pokok dan Harta Hasil
a.
Harta
Pokok
“Harta yang menyebabkan adanya harta yang
lain.”
b.
Harta
Hasil (tsamarah)
“Harta yang terjadi dari harta yang lain.”
Di antara contoh harta pokok adalah sapi, dan harta hasil adalah susu
atau daging. Harta pokok dapat disebut modal.
9.
Harta Khas dan Harta ‘Am
a.
Harta
Khas
Harta khas adalah harta pribadi yang tidak bersekutu dengan harta lain.
Harta ini tidak dapat diambil manfaatnya atau digunakan kecuali atas kehendak
atau atas seizinnya.
b.
Harta
‘Am
Harta ‘Am adalah harta milik
umum atau bersama, semua orang boleh mengambil manfaatnya sesuai dengan
ketetapan yang disepakati bersama oleh umum atau penguasa.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.DR.H.Rachmat Syafei, MA., Fiqih Muamalah, Bandung, CV PUSTAKA
SETIA, 2001.