A. PENGERTIAN HAWALAH
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah
yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan.
Penjelasan yang
dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang
berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan
pembayaran hutang).
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para
Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Hanafi,
yang dimaksud hiwalah
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang
lain yang punya tanggung jawab pula”.
Al-jaziri
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
نقل الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan
utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
Syihab
al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang
menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.[2]
Jadi,
Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain
yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalm istilah para
ulama, hali ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang
berutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar
utang.
Secara sederhana, hal itu dapat dijelaskan bahwa A (muhal)
memberi pinjaman kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C
(muhal ‘alaih). Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A, ia lalu
mengalihkan beban utangnya pada C. Dengan demikian, C yang harus membayar utang
B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap selesai.
B. DASAR HUKUM HAWALAH
Hawalah
dibolehkan berdasarkan Sunnah dan ijma.
a. Hadits
Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah
bersabda,
مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ فَاِذَا
أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىِّ فَلْىَتْبَعْ
“menunda pembayaran bagi orang yang sudah mampu adalah suatu
kezaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hawalah-kan) kepada
orang yang mampu/kaya, terimalah hawalah itu.”
Pada hadits tersebut, rasulullah memberitahukan kepada
orang ayng mengutangkan, jika orang yang berutang menghawalahkan kepada orang
yang kaya atau mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan hendaklah
iamenagih pada orang yang dihawalahkan (muhal ‘alaih). Dengan demikian, haknya
dapat terpenuhi.
Sebagian
ulam berpendapat bahwa perintah untuk menerima Hawalah dalam hadits tersebut
menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang mengutangkan (muhal)
menerima hawalah. Adapun mayoritas ulam berpendapat bahwa perintah itu
menunjukkan Sunnah. Jadi, Sunnah hukumnya menerima hawalah bagi muhal.
b. Ijma
Ulama
sepakat membolehkan hawalah. Hawalah di bolehkan pada utang yang tidak
berbentuk barang/benda karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu,
harus pada uang atau kewajiban finansial.
C. RUKUN HAWALAH
Menurut mazhab
Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak
pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak
ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan
Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
a.
Pihak pertama, muhil (المحيل):
Yakni orang
yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
b.
Pihak kedua,
muhal atau muhtal (المحال او المحتال):
Yakni orang berpiutang kepada muhil.
c.
Pihak ketiga
muhal ‘alaih (المحال عليه):
Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada
muhtal.
d.
Ada
hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به):
Yakni hutang muhil kepada muhtal.
e.
Ada hutang
pihak ketiga kepada pihak pertama
Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
f.
Ada sighoh
(pernyataan hiwalah).
D. SYARAT HAWALAH
Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (al-muhil) adalah
:
a. Cakap melakukan tindakan hukum dalam
bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Khiwalah tidak sah bila dilakukan
anak-anak meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh
orang gila.
b.
Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk
melakukan khiwalah maka akad itu tidak sah. Adapun persyaratan ini
berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina
harga dirinya, jika kewajibannya untuk membayar utang dialihkan kepada pihak
lain.
Syarat-syarat
yang diperlukan oleh pihak kedua (al-muhal) sebagai berikut :
a.Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal
sebagaimana pihak pertama.
b.
Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan khiwalah. Persyaratan
ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang
berbeda-beda, ada yang mudah dan ada juga yang sulit membayarnya, sedangkan
menerima pelunasan utang itu merupakan hak pihak kedua.
Syarat-syarat
yang diperlukan oleh pihak ketiga (al-muhal ‘alaih) adalah :
1. Cakap
melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama
dan kedua.
2. Adanya
pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (al-muhal ‘alaih). Hal ini
diharuskan karena tindakan khiwalah merupakan tindakan hukum yang
melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketuga (al-muhal ‘alaih)
untuk membayar utang kepada pihak kedua (al-muhal), sedangkan kewajiban
membayar utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang
berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban itu hanya dapat
dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui akad khiwalah.
3. Imam Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau
pernyataan menerima akad harus dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga
didalam suatu majelis akad.
Syarat-syarat
yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al-muhal bih) adalah :
1.Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk
utang piutang yang telah pasti.
2.Pembayaran
utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi perbedaan
waktu jatuh tempo pembayaran di antara kedua utang itu, maka khiwalah tidak
sah.
Utang pihak pertama kepada pihak
kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak kedua mestilah sama jumlah dan
kualitasnya. Jika antara kedua utang itu terdapat perbedaan jumlah, misalnya
utang dalam bentuk uang, atau perbedaan kualitas misalnya utang dalam bentuk
barang, maka khiwalah itu tidak sah.
E. JENIS HAWALAH
Mazhab Hanafi membagi hawalah menjadi beberapa bagian.
Ditinjau dari segi obyek akad, hawalah dapat dibagi dua:
a.
Hawalah Haq
Hawalah ini adalah pemindahan
piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan
dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi
utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang
yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini
terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
b. Hawalah Dayn
Hawalah ini adalah pemindahan hutang
kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawalah
Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah
diterangkan di depan.
Sedangkan dari sisi lain:
1. Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang
(orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya
kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang
pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C,
sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini
disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur
ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
b.
Hawalah
Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal
Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh
(jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
F.
UNSUR
KERELAAN DALAM HAWALAH
a.
Kerelaan
Muhal
Mayoritas
ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang
yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang
dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu
orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian
tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanafilah berpendapat bahwa jika
muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa
menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib
menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka
mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai
tidak adanya kewajibanmuhal (orang yang menerima pindahan) untuk menerima
hawalah adalah karena muhal ‘alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah
membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal
‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib
menerima hawalah. Namun jika muhal ‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka
menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib
menerima hawalah.
b. Kerelaan
Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah
dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini
berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian
dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari
dan Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya
sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa
diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap
yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib
dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal
‘alaih. Dan muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada
siapa saja dari keduanya.
G.
BEBAN MUHIL
SETELAH HAWALAH
Apabila
hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal
dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat
ulama jumhur.
Menurut
madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang
fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh
kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang
kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal
dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada
muhil.
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam
keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang
yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya
H.
BERAKHIRNYA
HAWALAH
Akad hawalah akan berakhir oleh
hal-hal berikut ini.
a. Karena dibatalkan
atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai tahapan
akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali
lagi kepada Muhil.
b. Hilangnya
hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya
akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
c. Jika Muhal
alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah
benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
d. Meninggalnya
Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah
salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka
berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
e. Jika Muhal
menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia
menerima hibah tersebut.
I.
APLIKASI
HAWALAH DALAM PERBANKAN
Kontrak
hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut.
a. Factoring atau anjak piutang, dimana para
nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu
kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak
ketiga itu.
b. Post dated check, dimana bank bertindak sebagai juru
tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c.
Bill counting. Secara prinsip. Bill counting
serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill counting, nasabah harus
membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak termasuk dalam
hawalah.
Daftar Pustaka :
http://myrealblo.blogspot.co.id/2015/12/makalah-hawalah_6.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar