Jumat, 19 Mei 2017

RAHN



A.       Pengertian Gadai (Rahn)
          Gadai atau al-rahn (الرهن) secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al habs) yaitu penetapan dan penahanan. Istilah hukum positif di indonesia rahn  adalah apa yang disebut barang jaminan, agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan tanggungan.
          Azhar Basyir memaknai rahn (gadai) sebagai perbuatan menjadikan suatu benda yang bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan uang, dimana adanya benda yang menjadi tanggungan itu di seluruh atau sebagian utang dapat di terima. Dalam hukum adat gadai di artikan sebagai menyerahkan tanah untuk menerima sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.
      Al-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang di tahan tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai. Pemilik barang gadai disebut rahin dan orang yang mengutangkan yaitu orang yang mengambil barang tersebut serta menahannya disebut murtahin, sedangkan barang yang di gadaikan disebut rahn 

B.       Dasar Hukum Rahn
          Akad rahn diperbolehkan oleh syara’ dengan berbagai dalil Al-Qur’an ataupun Hadits nabi SAW. Begitu juga dalam ijma’ ulama’. Diantaranya
firman Allah dalam Qs.Al-baqarah; 283
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَعَلِيمٌ ُ                                                                                          
Artinya: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh piutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya". (Al-Baqarah 283). 


     Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:     

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا                                                                               ى


Artinya: " Rasullulah SAW, telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madina, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau". (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).

C.       Rukun dan Syarat Gadai (Rahn)
                   Dalam melaksanakan suatu  perikatan terdapat rukun dan syarat gadai yang harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus dipindahkan dan dilakukan. Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda memiliki beberapa rukun, antara lain :
            1.    Akad dan ijab Kabul
2.    Aqid, yaitu yang menggadaikan  dan yang menerima gadai.
3.    Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.

Syarat Rahn antara lain :
1.    Rahin dan murtahin
Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam yaitu berakal dan baligh.
2.    Sighat
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
3.    Marhun bih (utang)
Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata lain utang tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-tambah atau utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang tersebut merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam.

D.       Ketentuan Umum Pelaksanaan Rahn dalam Islam
          Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan ar-rahn antara lain:
1. Kedudukan Barang Gadai.
Selama ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.
2. Pemanfaatan Barang Gadai.
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari harta benda tidak berfungsi atau mubazir.
4.  Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai
Ada beberapa pendapat mengenai kerusakan barang gadai yang di sebabkan tanpa kesengajaan murtahin. Ulama mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko sebesar harga barang yang minimum. Penghitungan di mulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai hari rusak atau hilang.
5. Pemeliharaan Barang Gadai
Para ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya. Sedangkan para ulama’ Hanafiyah berpendapat lain, biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai dalam kedudukanya sebagai orang yang menerima amanat.
5. Kategori Barang Gadai
     Jenis barang yang biasa digadaikan sebagai jaminan adalah semua barang bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Benda bernilai menurut hukum syara’
b. Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi
c. Benda diserahkan seketika kepada murtahin
6. Pembayaran atau Pelunasan Utang Gadai.
     Apabila sampai pada waktu yang sudah di tentukan, rahin belum juga membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhun untuk menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi hutangnya.
7. Prosedur Pelelangan Gadai
Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai, sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat melunasi kewajibanya.

E.    Aplikasi dalam Perbankan
                   Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal, yaitu:
1. Sebagai Produk Pelengkap
Rahn dipakai dalam produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’al murabahah. Bank dapat menahan nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
2. Sebagai Produk Tersendiri
Di beberapa negara Islam termasuk di antaranya adalah Malaysia, akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran. Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya rahn hanya sekali dan di tetapkan di muka.

F.    Manfaat Rahn
          Manfaat yang dapat di ambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah:
1.    Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan  fasilitas pembiayaan yang diberikan.
2.    Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja. Jika nasabah peminjam ingkar janji, ada suatu asset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
3.    Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, maka akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama didaerah-daerah.

G.   Risiko Rahn
          Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah:
1. Resiko tak terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi)
2. Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.

H.  Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional  
a.  Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah
    Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah seperti berikut:
            1.    Hak gadai berlaku atas pinjaman uang
            2.    Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang
3.    Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis , barang yang di gadaikan boleh di jual atau di lelang
b. Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional
    Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut:
INDIKATOR
Rahn ( Gadai Syariah )
       Gadai Konvensional
Konsep Dasar
Tolong menolong ( jasa pemeliharaan barang jaminan)
Profit Oriented ( Bunga dari pinjaman pokok/ biaya sewa modal)
Jenis Barang Jaminan
Barang bergerak dan tidak bergerak
Hanya barang bergerak
Beban
Biaya pembiayaan
Bunga (dari pokok pinjaman)
Lembaga
Hanya bisa dilakukan oleh lembaga (perum penggadaian)
Bisa dilakukan perseorangan
Perlakuan
Dijual (kelebihan dikembalikan kepada yang memiliki)
Dilelang 


DAFTAR PUSTAKA :

 http://zezameirisenthia90.blogspot.co.id/2016/06/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html

WAKALAH



A.    Pengertian
Secara bahasa kata al-Wakalah atau al-wikalah berarti al-Tafwidh (penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat) seperti perkataan :usanku kepada Allah
و كلت أمرى الى الله أى فو ضته اليه
Artinya: “aku serahkan urusanku kepada Allah”.
Secara terminologi (syara’) sebagaimana dikemukakan oleh fukaha:
1.      Imam Taqy al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini
تفويض ما له فعله مما يقبل النيا بة الى غيره ليحفظه فى حال حياته
Artinya: “menyerahkan suatu pekerjaan yang dapat digantikan kep[ada orang lain agar dikelola dan dijaga pada masa hidupnya”.

2.      Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
“Akad penyerahan kekuasaan dimana pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai gantinya untuk bertindak”.

Dari dua definisi diatas dapat ditari kesimpulan bahwa Wakalah adalah sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjaannya/perkaranya ketika masih hidup.
Dalam Wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakkil) itu dapat secara sah untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun, karena satu dan lain hal urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya. Oleh karena itu, jika seorang (muwakkil) itu ialah orang yang tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila atau anak kecil maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh Wakalah, seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali nikah dalam pernikahan anak perempuannya. Contoh lain seorang terdakwa mewakilkan urusan kepada pengacaranya.





B.     Landasan Hukum
Islam mensyariatkan Wakalah karena manusia membutuhkannya. Manusia tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi. Ia membutuhkan orang lain untuk menggatikan yang bertindak sebagai wakilnya. Kegiatan Wakalah ini, telah dilakukan oleh orang terdahulu seperti yang dikisahkan oleh al-Qur’an tentang ashabul kahfi, dimana ada seorang diantara mereka diutus untuk mengecek keabsahan mata uang yang mereka miliki ratusan tahun di dalam gua.
a.       Al-Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya al-Wakalah adalah sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut:
قا ل اجعلنى على خزا ئن الاء رض  انى حفيظ عليم
Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (Yusuf: 55)
Dalam hal ini, nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga Federal Reserve negeri Mesir.
Dalam surat al-Kahfi juga menjadi dasar al-Wakalah yang artinya berikut:
“Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka agar saling bertanya, ‘Sudah berapa lamakah kamu berdiri di sini?’ Mereka menjawab, ‘Kita sudah berada di sini satu atau setengah hari.’ Berkata yang lain, ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada di sini. Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (al-Kahfi: 19).
Ayat di atas menggambarkan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.





b.      Ijma’
Ulama membolehkan Wakalah karena Wakalah dipandang sebagai bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan dan taqwa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maaidah ayat 2 :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih”.
c.       Hadits
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث اب رافع ورجلا من الا نصار فزو جاه ميمو نة بنت الحارث                                              
Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.”
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya membayar utang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.

C.    Rukun dan Syarat Wakalah
Rukun Wakalah adalah:
a)      al muwakkil (orang yang mewakilkan/ melimpahkan kekuasaan)
b)      al wakil ( orang yang menerima perwakilan)
c)      al muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan)
d)     Sighat  ( ucapan serah terima)
Sebuah akad Wakalah dianggap syah apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)      Orang yang mewakilnya (muwakkil) syaratnya dia berstatus sebagai pemilik urusan/benda dan menguasainya serta dapat bertindak terhadap harta tersebut dengan dirinya sendiri. Jika muwakkil itu bukan pemiliknya atau bukan orang yang ahli maka batal. Dalam hal ini, maka anak kecil dan orang gila tidak sah menjadi muwakkil karena tidak termasuk orang yang berhak untuk bertindak.
2)      Wakil (orang yang mewakili) syaratnya ialah orang berakal. Jika ia idiot, gila, atau belum dewasa maka batal. Tapi menurut Hanafiyah anak kecil yang cerdas (dapat membedakan mana yang baik dan buruk) sah menjadi wakil alasannya bahwa Amr bin Sayyidah Ummu Salamah mengawinkan ibunya kepada Rasulullah, saat itu Amr masih kecil yang belum baligh. Orang yang sudah berstatus sebagai wakil ia tidak boleh berwakil kepada orang lain kecuali seizin dari muwakkil pertama atau karena terpaksa seperti pekerjaan yang diwakilkan terlalu benyak sehingga tidak dapat mengerjakannya sendiri maka boleh berwakil kepada orang lain. Si wakil tidak wajib untuk menanggung kerusakan barang yang diwakilkan kecuali disengaja atau cara di luar batas.
3)      Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syaratnya:
(a)    Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain. Oleh karena itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakn ibadah seperti salat, puasa dan membaca al-Qur’an.
(b)   Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad Wakalah. Oleh karena itu, tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya.
(c)    Pekerjaan itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu yang masih samar seperti “aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawini salah satu anakku”.
(d)   Shigat:shigat hendaknya berupa lafal yang menunjukkan arti “mewakilkan” yang diiringi kerelaan dari muwakkil seperti “saya wakilkan atau serahkan pekerjaan ini kepada kamu untuk mengerjakan pekerjaan ini” kemudian diterima oleh wakil. Dalam shigat kabul si wakil tidak syaratkan artinya seandainya si wakil tidak mengucapkan kabul tetap dianggap sah.

D.    Rukun Dan Syarat Kafalah
Ada beberapa rukun  dan syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi kafalah:
1)      Kafiil, yang dimaksud adalah orang yang berkewajiban melakukan tanggungan. Orang yang bertindak sebagai kafiil disyaratkan adalah orang dewasa, berakal, berhak penuh untuk bertindak dalam urusan hartanya, dan rela dengan kafalah. Kafiil tidak boleh orang gila dan juga anak kevil sekalipun ia telah dapat membedakan sesuatu (tamyiz).
2)      Ashiil yaitu orang yang berhutang, yaitu orang yang ditanggung. Tidak disyaratkan baligh, berakal, kehadiran, dan kerelaannya dengan kafalah.
3)      Makful lahu yaitu orang yang memberi hutang (berpiutang). Disyaratkan diketahui dan dikenal oleh orang yang menjamin. Hal ini supaya lebih mudah dan disiplin.
4)      Makful bihi yaitu sesuatu yang dijamin berupa orang atau barang atau pekerjaan yang wajib dipenuhi oleh orang yang keadaannya ditanggung ashiil.
5)      Lafadz yaitu lafal yang menunjukkan arti menjamin.
Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq bahwa kafalah dapat dinyatakan sah dengan menggunakan lafal sebagai berikut : “Aku menjamin si A sekarang “, “Aku tanggung atau aku jamin atau aku tanggulangi atau aku sebagai penanggung untukmu” atau “penjamin” atau “hakmu padaku” atau “aku berkewajiban”. Semua ucapan ini dapat dijadikan sebagai pernyataan kafalah.
Apabila lafadz kafalah telah dinyatakan maka hal itu mengikat kepada utang yang akan diselesaikan. Artinya, utang tersebut wajib dilunasi oleh kafiil secara kontan atau kredit. Jika utang itu harus dibayar kontan si kafiil dapat minta syarat penundaan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dibenarkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw menanggung sepuluh dinar yang diwajibkan membayarnya selama satu bulan, beliau melakukannya.

E.     Aplikasi Wakalah Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Akad Wakalah dapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan:

a.       Transfer uang
Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada kepada rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini
a)      Wesel Pos
Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan secara langsung dari Al-Muwakkil kepada Al-Wakil, dan Al-Wakil memberikan uangnya secara langsung kepada nasabah yang dituju. Berikut adalah proses pentransferan uang dalam Wesel Pos.
b)      Transfer uang melalui cabang suatu bank
Dalam proses ini, Al-Muwakkil memberikan uangnya secara tunai kepada bank yang merupakan Al-Wakil, namun bank tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju tersebut. Berikut adalah proses pentrasferan uang melalui cabang sebuah bank.
c)      Transfer melalui ATM
Kemudian ada juga proses transfer uang dimana pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan dari Al-Muwakkil kepada bank sebagai Al-Wakil. Dalam model ini, Nasabah Al-Muwakkil meminta bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering terjadi saat ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM.

DAFTAR PUSTAKA :
 http://tugaskuliah-syaifurrahman.blogspot.co.id/2014/09/wakalah.html